“Maaf,
aku memang sudah menikah dengan calon suamimu.” Elly pun terdiam membisu,
matanya terlihat hendak copot dan giginya gemertak. Tanpa sadar ia melayangkan
sebuah handphone ke kepala pria brengsek
yang nyaris menjadi suaminya tersebut. Hampir saja Elly meneteskan air mata.
Namun ia ingin terlihat tegar. Ia
membanting meja lalu keluar dari ruangan tersebut.
Elly
terus berlari keluar dari rumah megah bertingkat dua itu, melintasi jalanan komplek
yang saat itu sedang ramai orang dan kendaraan melintas. Semua mata tertuju
pada Elly yang berlari dengan isak tangis kekecewaan tanpa arah yang jelas.
Cuaca
hari itu cukup cerah, tapi tidak cukup cerah bagi hati Elly yang sudah remuk
dan hancur karena kekecewaan yang begitu mendalam pada calon suami yang
ternyata sudah menikah dengan sahabat kecilnya.
Pelarian
Elly terhenti pada tepi sebuah danau yang sepi. Ia duduk terdiam dibawah pohon
tinggi besar menjulang yang melindunginya dari kehangatan mentari senja kala
itu. Air matanya tidak berhenti mengalir dari kedua matanya yang bulat, jatuh
melintasi kedua sisi pipinya yang bulat kemerah-merahan. Pelan tapi pasti,
butir-butir air matanya mengalir semakin deras.
Malam
datang menjelang, lampu-lampu disekitar danau mulai menyala menemani indahnya
cahaya rembulan yang tengah menyinari bumi. Elly masih berada di danau itu,
masih terbayang bagaimana perkataan sahabatnya tadi siang. Tidak pernah
terpikir sedikitpun dalam benak Elly jika lelaki yang dicintainya selama
setahun ini adalah suami sahabatnya sendiri.
“Tuhan
mengapa harus seperti ini? Mengapa setelah setahun lebih hal ini baru
terungkap? Apa Engkau sengaja melakukan hal seperti ini untuk mengujiku? Apa
yang harus aku lakukan didepan sahabatku nanti?” Teriak Elly memecah keheningan
danau malam itu.
Setahun
berlalu dari kejadian itu, setahun pula Elly sudah berpindah dari kota Solo ke
Ibukota. Elly memutuskan sendiri untuk pindah jauh dari Solo karena malu
menyimpan aib yang terlambat ia ketahui. Belum ada sesosok pria yang singgah di
dalam hatinya. Rasa trauma masih menghantui jiwa Elly.
Waktu
kosong Elly kini hanya dihabiskan untuk duduk di sebuah sudut kedai kopi yang
tidak jauh dari rumahnya. Berbeda dengan dulu, kini ia hanya sendirian di kedai
kopi. Secangkir kopi hitam pahit di mejanya bisa habis berjam-jam lamanya. Elly
meminum perlahan agar tidak cepat habis demi Wi-fi gratis yang merupakan bonus dari pembelian kopi di kedai
tersebut. Elly memesan secangkir kopi robusta dari Brazil yang warnanya hitam
pekat dan rasanya pahit, sepahit masa lalu Elly.
Bayang-bayang
James sudah mulai sirna dari lubuk hati dan benak pikiran Elly. Ya, James yang
terakhir Elly temui bertubuh tinggi besar dengan dada yang bidang dan kepala
tanpa rambut itu adalah calon suami Elly sekaligus suami dari sahabtnya
sendiri, Debora.
Sudah setahun
pula banyak pria lalu-lalang mencoba memasuki ruang dihati Elly yang mulai
kosong ditinggalkan James. Namun, jumlah pria yang kecewa sebanding dengan
jumlah pria yang lalu-lalang. Hati Elly masih terus tertutup walau kini mulai
kosong. Belum ada pria yang sanggup untuk menyusun kembali serpihan hati Elly
yang sudah hancur berkeping-keping
“ELLY!
HEI ELLY!” Nampak dari kejauhan ada
seorang wanita muda memanggil nama Elly dan memecahkan lamunan nya siang itu.
Kemudian wanita itu menghampiri Elly yang masih belum menyadari siapa wanita
yang memanggil namanya itu.
“Hei
Elly! Apa kabar? Aku rindu sekali dengan kamu! Kamu hilang begitu saja tanpa
jejak! Seperti diculik alien saja sih!” Elly masih terkejut dengan
kehadiran wanita itu, ia masih tetap
saja terdiam dengan tatapan kosong mengarah ke arah bola mata wanita itu
seperti sedang menerawang batinnya.
Kini
dihadapan Elly terdapat seorang wanita tinggi kurus dan rambut bergelombang
menatap Elly dengan lesung pipi yang menghiasi senyuman manisnya
“Ka..Kamu
kenapa bisa ada disini?” Tanya Elly gugup sambil tertunduk malu kepada wanita
itu. Ternyata wanita itu adalah sahabatnya, Debora. Debora adalah suami dari
calon pasangan hidup Elly kala itu. “Kamu mengapa seperti ini? Aku sudah
memaafkan kamu juga suamiku. Aku berusaha mencarimu setiap hari. Sudah bosan
rasanya aku menelpon dan mengunjungi rumahmu di Solo tanpa membuahkan hasil”
Jelas Debora kepada Elly yang masih terlihat malu.
“Debora!
Maafkan aku! Maafkan aku yang telah berkhianat sebagai sahabat sejatimu!” Bisik
Elly sambil memeluk tubuh Debora dengan erat dan mata yang mengeluarkan air mata secara perlahan jatuh
membasahi pipi Elly dan pundak Debora saat itu.
“Hei..hei!
dengarkan aku Elly!” Pinta Debora sambil melepaskan pelukan dan membasuh
bulir-bulir air mata Elly yang terus berjatuhan dari bola matanya. “Memang ada
yang namanya mantan suami dan mantan kekasih. Tapi kamu harus tau satu hal
penting, di dunia ini tidak pernah ada yang namanya mantan sahabat!”
Elly
kemudian tersenyum bahagia mendengar ucapan Debora yang begitu pemaaf. Rintihan
air mata Elly mulai berhenti perlahan tergantikan oleh senyuman dari bibir
ranumnya yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar